- Back to Home »
- Umum »
- Macam Macam Upacara Adat Ruwatan Beserta Caranya
Posted by : Unknown
Kamis, 15 Januari 2015
Macam Macam Upacara Adat Ruwatan Beserta Caranya
Dalam masyarakat Jawa, ritual ruwat dibedakan dalam
tiga golongan besar yaitu :
1. Ritual ruwat untuk diri sendiri.
2. Ritual ruwat untuk lingkungan.
2. Ritual ruwat untuk wilayah.
2. Ritual ruwat untuk lingkungan.
2. Ritual ruwat untuk wilayah.
Dalam masyarakat Jawa, ruwatan memiliki ketergantungan
pada siapa yang akan melaksanakan. Jika ruwatan dilakukan oleh orang yang
memang memiliki kemampuan ekonomi yang memadai, maka biasanya dilakukan secara
besar-besaran yaitu dengan mengadakan pagelaran pewayangan. Pagelaran
pewayangan ini berbeda dengan pagelaran yang pada umumnya dilakukan. Pagelaran
pewayangan dilakukan pada siang hari dan khusus dilakukan oleh dalang ruwat.
1. Ruwatan Diri Sendiri
Ruwatan diri sendiri dilakukan dengan cara-cara
tertentu seperti melakukan puasa (ajaran sinkretisme), melakukan selamatan,
melakukan tapa brata. Dalam masyarakat Jawa, bertapa merupakan bentuk laku atau
sering disebut lelaku. Lelaku sebagai wujud untuk membersihkan diri dari
hal-hal yang bersifat gaib negatif (buruk) juga termasuk dalam ruwatan. Dengan
memasukan kekuatan gaib dalam diri yang bersifat positif (baik), akan
memberikan keseimbangan energi dalam tubuh. Hal ini sering dikemukakan oleh
para spiritualis Jawa sebagai bentuk nasehat untuk mempelajari hal-hal yang
bersifat baik.
Pada saat ini, ruwatan yang dilakukan oleh sebagaian
masyarakat Jawa jauh berbeda dengan kebudayaan peninggalan pada zaman
Hindu-Budha. Ruwatan lebih cenderung dilakukan dengan tidak mengatasnamakan
ruwatan, tetapi pada dasarnya memiliki tujuan yang sama. Lelaku sebagai wujud
atau bentuk dari ruwatan bagi diri sendiri ini juga sering dilakukan oleh
sebagian mansyarakat Jawa agar mendapatkan kebersihan jiwa.
Rituan Ruwatan Diri Sendiri Menurut Kitab Primbon
Mantrawara III, Mantra Yuda
Jika orang yang merasa selalu sial, dalam kepercayaan
Jawa harus melakukan upacara ruwatan terhadap diri sendiri. Ritual ruwatan ini
memiliki banyak sebutan, antara lain adalah Ruwatan Anggara Kencana.
Kesialan yang ada dalam diri manusia dipercaya timbul dari sedulur
papat limo pancer atau sebagai pemicunya berasal dari kekuatan lain
(makhluk halus). Btempat keberadaan sedulur papat ini dapat dilakukan
pendeteksian.
Pendeteksian yang dilakukan adalah melalui perhitungan
(petungan) Jawa yaitu : Ha: 1, Na: 2, Ca: 3, Ra: 4 dan seterusnya. Pendeteksian
dilakukan dengan menjumlah neptu orang tuanya dengan orang yang akan melakukan
ritual ini. Jumlah keduanya kemudian dibagi 9 dan diambil sisanya. Jika sisa:
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
1. Bersemayam di sebelah kiri-kanan mata kanan,
2. Bersemayam di sebelah kiri-kana mata kiri,
3. Bersemayam di telinga kanan,
4. Bersemayam di telinga kiri,
5. Bersemayam di sebelah hidung kanan,
6. Bersemayam di sebelah hidung kiri,
7. Bersemayam di mulut,
8. Bersemayam di sekeliling pusar,
9. Bersemayam di kemaluan,
sebagai syarat dari ritual ini adalah mengambil
sedikit darah di sekitar tempat keberadaan bersemayamnya. Darah ini akan
dilabuh (dilarung). Cara mengambil darah ini adalah dengan mengunakan
duri yang kemudian dioleskan pada kapas puti. Duri dan kapas nantinya akan
dilabuh bersama-sama dengan syarat yang lain, berupa :
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
1. Beras 4 kg,
2. Slawat 1 Dirham (uang senilai emas 1 gram),
3. Ayam,
4. Teklek (sandal dari kayu, atau bisa digantikan sandal biasa),
5. Benang Lawe satu gulung,
6. Telur ayam yang baru saja keluar (belum ada sehari),
7. Gula setangkep (gula Jawa satu pasang), gula pasir 1 kg,
8. Kelapa 1 buah.
Kelapa, benang lawe, telur ayam, beserta kapas dan
duri dilabuh sambil membaca mantera: “Ingsung ora
mbuwang klapa lan isine, ananging mbuwang apa kang ndadekake apesing awakku”.
(Aku tidak membuang kelapa beserta isinya, tetapi aku membuang apa yang
menjadikan kesialan bagiku).
Selain beberapa benda yang dilarung atau dilabuh
tersebut, dikrarkan untuk disedekahkan kepada siap yang dikehendakinya,
sebaiknya sodaqoh kepada orang yang membutuhkan.
2. Ruwatan Untuk Lingkungan
Ruwatan yang dilakukan untuk lingkup lingkungan
biasanya dilakukan dengan sebutan mageri atau memberikan pagar gaib pada sebuah
lokasi. Sebagai contoh yang sering kita temui dalam masyarakat sekitar kita
adalah memberikan pagar gaib. Hal semacam memberikan pagar gaib pada sebuah
lokasi (anggap saja rumah) ditujukan untuk beberapa hal, antara lain :a.
Memberikan daya magis yang bersifat menahan, menolak, atau memindahkan daya
(energi) negatif yang berada dalam rumah atau hendak masuk kedalam rumah.
Metode semacam ini biasanya dilakukan dengan menanam tumbal yang diperlukan,
misalnya kepala kerbau atau kepala kambing.
b. Memberikan pagar agar tidak dimasuki oleh orang
yang hendak berniat jahat.
c. Memberikan kekuatan gaib yang bersifat mengusir
atau mengurung makhluk halus yang berbeda dalam lingkup pagar gaib.
Berbagai cara memberikan pagar gaib ini dapat dilihat
pada buku-buku kuno yang menceritakan pemagaran diri manusia, lingkungan dan
wilayah yang cukup luas dengan kepercayaan masyarakat Jawa. Tujuan utama
dilakukannya pemagaran gaib pada manusia dan pada lingkungannya ini apabila
tercapai, menurut kepercayaan Jawa akan menjadikan lingkungan yang aman,
sejahtera, jauh dari gangguan makhluk halus.
Pada saat ini, bentuk pemagaran gaib yang sering
ditemui dalam masyarakat Jawa sekitar kita berbentuk menanam rajah, menanam
tumbal, membaca doa untuk membuat pagar dan masih banyak metede lainnya. Acara
atau ritual ruwatan yang ditujukan untuk memagari sebuah lokasi ini kemudian
berubah dalam pelaksanaannya karena sebagian masyarakat Jawa sekarang sudah
cenderung mempercayai hal-hal yang bersifat ilmiah.
Ritual ruwatan dalam masyarakat Jawa yang masih
berlaku biasanya adalah pemagaran gaib yang dilakukan dengan menyediakan
berbagai jenis sesaji dan melakukan ritual sendiri. Penerapan ritual ruwatan
tidak jauh berbeda antara satu tujuan dengan tujuan yang lain. Pelaksanaan yang
umum dilakukan dalam masyarakat Jawa adalah dengan menggelar lakon pewayangan
yang berisi tentang ruwatan itu sendiri. Dalang dalam menampilkan pagelarannya
menyajikan salah satu dari beberapa jenis lakon.
3. Ruwatan Untuk Desa atau Wilayah Yang
Luas
Disini akan dijelaskan contoh ruwatan di
Kepatihan Danurejan, dari Babon Primbon Kagungan Dalem KPH Tjakraningrat (Kanjeng
Raden hadipati Danureja IV).
Pada umumnya, pangruwatan Murwa Kala dilakukan dengan
pagelaran pewayangan yang membawa cerita Murwa Kala dan dilakukan oleh dalang
khusus memiliki kemampuan dalam bidang ruwatan. Pada ritual pangruwatan, bocah
sukerta dipotong rambutnya dan menurut kepercayaan masyarakat Jawa, kesialan
dan kemalangan sudah menjadi tanggungan dari dalang karena anak sukerta sudah
menjadi anak dalang. Karena pagelaran wayang merupakan acara yang
dianggap sakral dan memerlukan biaya yang cukup banyak, maka pelaksanaan
ruwatan pada zaman sekarang ini dengan pagelaran wayang dilakukan dalam lingkup
pedesaan atau pedusunan.
Proses ruwatan seperti yang diterangkan ini bisa
ditujukan untuk seseorang yang akan diruwat, namun pelaksanaannya pada siang
hari. Sedangkang untuk meruwat lingkup lingkungan, biasanya dilakukan pada
malam hari. Perbedaan pemilihan waktu pelaksanaan pagelaran ditentukan melalui
perhitungan hari dan pasaran.
Urut-urutan ruwatan sebagai berikut :
a. Dimulai dengan doa pembuka :
“Hong ilaheng, tata winanci awignam mastu
samas sidhdhem”
b. Diteruskan dengan pembacaan cerita riwayat Sang
Hyang Kala, yang disampaikan dalam bahasa Jawa dan sisampaikan mirip seperti
nyanyian, tetapi juga bisa berbentuk seperti kalimat pembukaan sang dalang
dalam membuka pagelaran wayang :
“Sinigeg sakathahing para jawata watak nawa sanga,
pada retane Sang Hyang Pramesthi Guru kang tiba ing sela sana sewu, bentar
kepara sewu, mila dalah samangka watu, dadi sajagad.
Ana sawijine yogane Sang Hyang Pramesthi Guru kang
tiba telenging samodra, medal akimplik-kimplik, ing aran Sang Hyang Kamasalah,
bisa ngadeg ing aranan Sang Hyang Candhusekti.
Ing kana kaidenan dening Sang Hyang Pramesthi Guru,
sakathahe jawata watak nawasanga, kinen nggunturana marang Kamasalah, sakathahe
guntur wedang, guntur watu, apa dene guntur geni, pada nurunake, guntur tanana,
kang tumama, nora sangsaya suda, malah sangsaya gedhe kalawun-lawun. Ing kana
kocap bebandhem, malar dadi pepak dandananing sarira, nulya minggah marang
gagana arsa panggih lawan wong tuwanira, iya Sang Hyang Pramesthi Guru”.
c. Diteruskan dengan membaca Pakem Sontheng.
Pakem ini dimulai dilagukan :
“Hong ilaheng pra yoganira Sang Hyang Kamasalah
tengerannya, kang daging Sang Kemala, kadi gerah suwarane, abra lir mustika
murub, amarab”.
d. Setelah Pakem Sontheng selesai,
dibacakan :
“Anekak aken prabawa, ketug lindhu lan prahara, geter
patertan pantara, alimaku tanpa suku, alembehan tanpa tangan, aningali tanpa
netra, amyarsa tanpa karna, ambegan tanpa grana, acelathu tanpa lidah,
angan-angan tanpa driya”.
e. Diteruskan dengan pasang tabeik dan membaca Kidung
Sastra Pinandhati :
“Hong Ilaheng Tata winanci awighnam astu nammas
siddam. Hong Ilaheng pra yoganira, sang bawana sariraku, randhu kepuh
pangadhegku, kidang kancil kor tumaku, raiku lemah paesan, mataku socaning
manuk, kupingku sang plempengan, cangkemku sangagunging wong, lambeku sang
sarapati, utegku sang watu rejeng, ilatku sang lemah polah, janggutku sang watu
sumong, guluku sang lemah dedet, selangku sang darmaraja, bauku sang lemah
mraju, geger lemah gigir sapi, cangklekan lemah lempit-lempitan, dadaku sang
lungka-lungka, wetengku sang lemah mendhak, susuku sang gunung kembar,
penthilku sang asri kembar, wangkungku sang pacul tugel, silitku elenging
landhak, kempungku tlaga mambeng, plananganku waja glijenm planangan waja
binandung, pringsilan waja malela, uyuhku banyu pancuran, sukerke padhas
cecuri, entutku mercu dadari, iduku parang teritis, riyakky pulut bendala,
wentisku lemah bajangan, delamakanku lemah seta, paturonku lemah bleberan,
tindhakku lindhu prahara, geter pater panebaku, awedi kang buta kabeh, sawedana
Durga Kala, sawedana kertidara, tumurun ingsung madya, wowor ing dewata muja,
ajiku sang ata ati, amaraja nata wuwusku, amahraja ta ajiku, Ya Yamaraja, Ya
Jaramaya, Ya Yamarani, Ya Niramaya, Ya Yasilapa, Ya Palasiya, Ya Yamidora, Ya
Rodomiya, Ya Yamidosa, Ya Sadomiya, Ya Yadayuda, Ya Dayudaya, Ya Yasiyaca, Ya
Cayasiya, Ya Yasihama, Ya Mahasiya.
Yanyangsiyu yusinyangya, yanyangasiyu yusinyangya,
yajasiyu yusijaya, yadangsiyu yusidangya, yawangsiyu yusiwangya, yasangsiyu
yusisangya, yatangisiyu yusitangya, yadangsiyu yusidangya, yakangsiyu
yusikangya, arangsiyu yusirangya, yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusirangya,
yacangsiyu yusicangya, yanangsiyu yusinangya, yahangsiyu yusihangya, yahangsiyu
yusihangya”.
Diteruskan dengan membaca atau amateg sastra yang ada
di langit-langit mulut (telak) Bethara Kala. Sastra ini menjadi pepingitan
(peringatan) di jawata (menjadi hal yang dirahasiakan) tidak boleh dibacakan
keras-keras uleh sang dalang. Hal ini dilakukan sambil menundukkan kepala dan
tampak seperti mengheningkan cipta dengan menyanyikan lagi dandhanggula.
“Jatiswara, swaraning pamisik, lamun sira miwiti
amaca, kawruhana kamulane, kembang cempaka kudhup, sari mulya kang bayu
manjing, manjing sang bayu mulya, purnama kang bayu, abali sang bayu mulya,
sabda idep-idepa marang kang yogi, ketawang kapigesang”.
f. Diteruskan dengan membaca “Sastra Banyak Dalang”
lagu kentrung :
“Sang raja kumitir-kitir, ing ngendi anggonira
linggih, den barung lan keli, mangore lunga ngidul, anelasar sruwa sepi, sumun
dukuh ulung kembang, bale anyar ginelaran isi kang sumur bandung, toyane ludira
muncar, timbane kepala tugel, taline ususe maling, winarna winantu aji, asri
dinulu tingkahe kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena,
sampurnaning banyak Dalang”.
“Hong Ilaheng pra yoganira.
Sang raja kumitir-kitir anakku si banyak dalang, peksa
arep memantuwa kudu bisa angaji, dukuhe ki ulung kembang bale anyar tanpa
galar, isi ingkang sumur bandung, toyane ludira muncar, timbane kepala tugel,
taline ususe maling, winarna winatu aji, asri dinulu tingkahe, tingkahe kaya
nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigena, saliring mala trimala, sakehing
dendha upata, supatane wong atuwa, ana jaka meneng kembang, denya menek
angutapel, wus kebek jejomprangira, dene sekar anelahi, ana ta prawan liwat,
dinulu rupane ayu, prawan angaku rara, ya ni mara nini mara, anontana kintel
muni, ting caremplung, anggero kang kodok ijo, solahe krangkang rangkang,
sedayane kaya nauta, anauta lara raga, lara geng lara wigegna, slirane lara
trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung
guwa, kidungku si banyak dalang, saben dina pari dadar, sedina yen ana angring
yen garing keaadak, ngelu puyeng pilek watuk, kena wisa wutah-wutah, miring
murub benceretan, yen angrungu kidung iki, wong asomah padha banyak dalang,
miwah yen prawan tuwa, miwah yen jejaka tuwa, dumadakan gelis krama, kang angidung
maringa begawan, anonton larung keli, pepitu paring kadulu larunge ki banyak
dalang, ajejuluk ki jelarung, garudha cucuke wesi, ora anucuka lara raga, lara
geng wigena, salire mala trimala, sakehing dendha upata, supatane wong atuwa,
sampurnaning banyak dalang”.
g. Diteruskan dengan membaca Sastra Gumbalageni, Geni, atau api yang datang
dari berbagai penjuru angin, yaitu timur, selatan, barat dan utara, disatukan
dan ditolak kekuatan negatifnya dan diubah menjadi sesuatu yang bermanfaat
dengan melakukan pembacaan mantera :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni tekane saka wetan, putih rupane geni, apa
pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala,
tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni
teka aneng wetan.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kidul, abang rupane geni, apa
pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala,
tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni
teka ana kidul.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka kulon, kuning rupane geni, apa
pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala,
tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni
teka ana kulon.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka elor, ireng rupane geni, apa
pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala,
tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni
teka ana elor.
Hong ilaheng pra yoganira.
Ana geni teka saka tengah, lelima rupane geni, apa
pakaryaning geni, angleburna lara ageng lara wigegna, saliring lara trimala,
tujuh teluh taregnyana, budhug edan ayan buyan, wus lebur dening si geni, geni
teka ana tengah”.
h. Diteruskan dengan Kidung Sastra Puji Bayu :
“Sang Hyang sekti naga nila warna, dadaku sang naga
peksa telaleku pembebet jagad, asabung kulinting liman, abebed kuliting singa,
acawet angga genitri, liyanan catur wisa, rinejegan rejeg wesi, pinayungan kala
akra, kinemiting panca resi, sinongsongan asih-asih, premanaku ing sulasih”.
i. Diteruskan dengan Kidung Sastra Mandalagiri :
“Hong ilaheng pra yoganira.
Sang Hyang Tangkep Bapa kasa, kaliyan ibu pertiwi,
mijil yogyanira Sang Hyang Kamasalah, tengerannya kadi daging, swarane kadi
gerah, abra lir mustikamurub, urube amarab arab, anekakaken prabawa, ketuk
lindhu lan prahara, geter pater tan pantara, kagyat Sang Hyang Amarta arannya,
wus ruwat pedhasamengko, yen ana gering kedadak, ngelu puyeng watuk, kena wisa
wutah-wutah, miring murup benceretan, kudu lumaku rinuwat iki, anata senajata
singwang, aranemandalagiri, Sang Hyang Amarta arannya, wus ruwat padha
samengko”.
“Ruwatan dadi pagagan, bale mas sakane dhomas,
pinucukan manik putih, rinawe-rawe kumala marbuk miging gandanira cendhana
kara, gandhane jebat kasturi, kuning sira kocapa Bethara, ijil Bathara kusika,
sang gagra mesi kurusa, umijil Sang Hyang Kuwera, ana sira rupa buta, ana sira
rupa ula, kudu lumaku rinuwat anata sanjata ngngwang arane panji kumala,
pinaputrakaken gunung, arane mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus
ruwat padha samengko”.
j. Diteruskan dengan Sastra Kakancingan :
“Kunci nira kunci putih, angruwata metuwa sang, mentu
sampir lare kresna, kakrasa kama dindi, langkir tambir pakoninjog,
untuing-untuing matu tingting, tunggaking kayu aren, miwah temu pamipisan,
tumunem pega pagase, miwah kerubuhan lumbung dandang tanen, kudu lumaku
rinuwat, anata sanjataning wang, arane panji kumala, pinaputrak-akengunung
arane, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko”.
Pada proses ini merupakan penguncian kekuatan gaib
yang ditimbulkan dengan cara atau ritual ruwat.
k. Diteruskan dengan Sastra Panulak, pada
proses ini, kekuatan gaib dari Bethara Kala dibacakan mantera sehingga menurut
kepercayaan masyarakat Jawa, kekuatan gaib tersebut akan musnah :
“Tolak tunggul ing dhadhaku, macam putih ing raiku,
singa barong ing gigirku, baya nyasar ing cangkemku, sarpa naga ing tanganku,
raja tuwa ing sikilku, surya candhra ing paningalku, swaraku lir gelap sewu,
nulak sakabehing bilahi, setan balio padha adoh, wong saleksa padha lunga, wong
sakethi padha mati, rep sirep sajagad kabeh.
Kuneng Bathara kalawan sira Sang Hyang Bethari Durga,
kudu lumaku rinuwat, anata sanjataningwang, arane panji kumala, pinaputrekken
gunung, arane Mandhalagir, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha
samangko.
Nora sira rupa kala, nora sira rupa Durga, atemahan
Uma-uma, arep ageweya bala, ana lanang ana wadon, si betapasi betapi,
sibrenggala si brenggali, si rahmaya si rahmayi, si kuntara si kuntari, kudu
lumaku rinuwat, anata senjataning wang arane panji kumala, pina putrakaken
gunung, Mandalagiri, Sang Hyang Ngamarta arannya, wus ruwat padha samengko.
Kala atemahan Guru, Durga atemahan Uma, Umayana
umayini, widadara widadari, arep mantuk mring khayangan, Hyang Kala Bethara
reswara, amediya swara wija, aweha urip sarasa”.
l. Diteruskan dengan Sastra Ruwat Panggung,
dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Sang Hyang Galinggang kalawan sira Sang Hyang
Damarjati, kelire Hyang Tinjomaya, Peluntur alimun, kekuping Sang Hyng Kuwera,
peracik Sang Retna Adi, deboge Sang Hyang Gebohan, Cangkoke Bethara Gana,
alinggih pang kayu Tera Sumbu, awune Bethara Brama, arenge Bethara Wisnu,
kewala anonton wayang, Sang Hyang Eyang Guru kang amayang, widadari kang
nggameli, anyangang iyang ayine, suu tegang ora wangewang, sehamana maya, katon
kang anonton nora katon, kabruk-kabruk katung, pralambe yang ana maya katon,
kang tinonton nora katon, kang anonton nora katon”.
m. Diteruskan dengan Sastra Panengeran, dengani
dinyanyikan lagu Dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, sakti guna nila warna,
turuku lindur buwana, salonjorku lungguh wesi, amunjung kayu perbatang,
sedhakepku oyod nimang, candi sewu ing dhadhaku, adegku katu kastuba, randhu
kepuh ing jengkengku, naga mulat ing guluku, naga peksa tulaleku,
gadhingku warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku Hyang
pancanaka, lidahku sang sara sekti, brajapati ning wuwusku, arupa wil panca
warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku,
netraku Sang Hyang Surya Candhra,sumuluh ing rat bawana, awedi kang buta
dengen, awedi kang manungsa kabeh, awedi raksasa kabeh, undun ngudu aliweran,
lemah paran lungka-lungka, liman watu rejeng, alas agung anderkara, tetegale
angyangan, songing landhak garung-gungan, ajarat lemah tendhesan, slirane kang
lemah aeng, paomahane durga yekti, lemah wates jejebangan, lemah setra akil ing
wang, kang katungkul manut ingwang, dandang bango salirane, anauta lara raga,
lara geng wigena, salire mala trimala, tuju teluh teregnyana, budug edan ayan
buyan, tuju teluh tarangyana, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa,
supatane adi guru, yoga ruwat dening aku, budug ayan buyan, lumpuh wuta tuli
bisu, tak usapi tangan kiwa, pan aku pangruwat mala, geter pater pangucapku,
ketuk lindhu prabawaku, kilat cleret ing kendhepku, lebda wara mandi
sebda, japa mantra kasektenku, kurdaku galudhug gelap, aku kang Hyang Candra
sekti, aku Sang Hyang Raja Polah, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Hyang
Sikara Jala, aku Sang Sikara basu, aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang
Hyang ila-ila, aku Sang Hyang Tunjung putih, aku surak tanpa mungsuh, aku
tengeraning angin, lesus agung aliweran, prahara kalawan tambur, pangleburan
rajamala, ila-ila upadarwa, supata lawan sengsara, supatane wong atuwa, tan
tumama saliraku, tuju teluh taragnyana, budhug edan ayan buyan, lebur kabeh
musna ilang, aku Sang Hyang Candhusekti, turun sira sakareng, rijajegan rejeg
wesi pinayungan kalacakra, kinemiting widadara, kinemiting widadari, Resi dewa
sogataku, aku Sang Hyang Jaya pamurus”.
n. Diteruskan dengan Kidung Panengeran
lanjutan, dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Kang minangka tangeranku, Sang Hyang Tiga Pelunguhku,
dadaku Sang Ula Naga, Naga Raja selasangku, Naga Mulet ing guluku, Naga Pulet
tulaleku, gadhing warna curiga, cangkemku mas untu manik, siyungku mas
pancanaka, lidahku sang rasa sekti, brajapatining wuwusku, arupa wil panca
warna, Sang Hyang Siwah ginugonku, ula minangka alisku, Durga Durgi ngiringaku,
netraku Sang Hyang Surya Candhra, sumuluh ing rat bawono, awedi kang buta
dengen, tumingal ing kasektenku, udung-udung ulur-ulur, pilinglung watu
tinumpuk, paran limang watu rejeng, lungka-lungka watu putih, sirate lemah
tandhesan, agerat kang lemah sangar, alang-alang amelakang, tetegal kang
ameyangan, lemah amunuking lembu, lemah aguluning manuk, lemah anggiring sapi,
lemah anjilinthing kendhil, lemah ambara bathari, sakehe kang lemah aeng, akehe
kang watu aeng, teja-teja ing ulatku, kuwung-kuwung lelathiku, durga galudhug
gelap, aku Sang Hyang Nawa Krendha, aku Sang Sikara Jala, aku Sang Sikara basu,
aku Sang Hyang dhundhung mungsuh, aku Sang Hyang ila-ila, aku Sang Hyang
Tunjung Putih, aku Naganilawarna, aku Sang Hyang Naga Pamolah, aku tengeraning
angin, sindhung lesus leliweran, prahara kalawan geter, udang braja salah
mangsa, angagem dendha trisula, musala kalawan gadha, senjataku luwih sewu,
ngongdokaken mungsuhku bubar, kabeh dewata tumingal kasektenku, aku sang bala
sewu, aku Sang Hyang Guru Taya, tumurun aku sekareng, angadheg ing nggonku ring
windhu, ajamang akarawistha, asesep angga genitri, trinaya catur bujangga,
rinajegan rejen wesi, pinayungan kalacakra, kinemiting pancaresi, sang kusika
gagra mestri kurasa, sang Pritanjala, surenggana, surenggini, kinemiting
widadara, kinemiting widadari, kinemiting catur loka, endra baruna kuwera, yama
luwan bismawana, nguniweh butawilaksa, padha ngreksa padha kemit, rumeksaa
mring aku, angastuti maring mami, ya ingsung Sang Hyang Dewa Murti, papaku jati
yuswa, sampurna dak tampa mala, niruga nirupa darwa, ya minamuna mas wahak”.
o. Diteruskan dengan Kidung Sastra Pangruwatan,
dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ilanga Sanga Dyrga Durgi, sakehe kang alas seng,
randhu kepuh karangan kroya waringin ageng, lemah seta tangkeling wang, kang
katungkul manut ing wang, dandang bango salirane, anglebura lara raga, lara geng
lara wigegna, slirane lara trimala, supatane wong atuwa, tetangga yen angrung
guwa, supata lawan sengsara, supatane Sang Hyang Dewata, supatane awak dhewe,
nguni wah buta wiyaksa, kalawan buta wiyaksi, ila-ila upadarwa, budhug edan
ayan buyan, budhug edan buyan, mumet mules bencretan, ngelu puyeng pilek watuk,
sarta ingkang kena welak, nguni weh padha rawe, tak usapi tangan kiwa, cakra
lepas ing tanganku, ke ka ruwat mala, geter pater pangucapku, gerah minangka
sabdaku, sabda wara japa mantra, apan iku kasektenku, Sang Hyang Permana ing
senenku, ilanga rupa Kala, ilanga sang rupa buta, ilanga sang rupa sasap,
ilanga sang rupa jugil, ilanga sang rupa jakat, ilangan sang rupa gendruwa,
ilanga sang rupa dusta, durjana kawisayan ulun, durga uta paripurna, nuraga ni
rupa dewa, ya minamuna maswahak”.
p. Diteruskan dengan Kidung Pangruwat Pamungkas,
dengan dinyanyikan lagu dandhanggula :
“Hong ilaheng prayogganatara.
Ruwata Sang Rupa Durga, ruwata sang rupa Buta, ruwata
sang rupa Sasab, ruwata sang rupa Jugil, ruwata sang rupa Jakat, ruwata sang
rupa Mercu, ruwata sang rupa Taya, ruwata sang rupa Dusta, ulun ingkang
angruwata, ulun ingkang angilangna, Durga yuta paripurna, nuraga nirupa darwa,
ya minamuna maswahak”.
Setelah selesai melantunkan Kidung Ruwat Muewakala,
rambut anak sukerta dipotong sebagai syarat yang nantinya akan dilarung.
Kemudian anak Sukerta tersebut dimandikan air bubga setaman oleh yang meruwat.
Setelah itu wong sukerta tadi menjadi anak angkat bagi yang meruwat (dalang).
Segala sesaji, kain putih menjadi milik orang yang meruwat (dalang ruwat).
Bila orang yang diruwat adalah orang yang mengalami
gangguan kejiwaan (gila), atau sudah lama mengalami kesurupan, maka harus
dibacakan Kidung Rumaya, sekar sinom yang menyebutkan adanya
lelembut di tanah Jawa sebagai berikut :
Tembang Sinom
“Apuranen sun angetang, lelembut ing tanah Jawi, kang
rumeksa ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi, yen apal
sadayanipun, kena ginawe tulak, kinarya tunggu wong sakit, kayu aeng lemah
sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing mbang wetan, Durganeluh Maospahit,
lawan Raja Baureksa, iku ratuning dhedhemit, Blambangan winarni, awasta Sang
Balabatu, kang rumeksa Blambangan, Buta Locaya Kediri, Prabu Yeksa kang rumeksa
Giripura.
Sidakare ing Pacitan, Keduwang si Klentingmungil,
Hendrjeksa, ing Magetan, Jenggal si Tunjungpuri, Prangmuka Surabanggi, ing
Punggung si Abur-abur, Sapujagad ing Jipang, Madiyun sang Kalasekti, pan si
Koreg lelembut ing Panaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggiling wesi, Macan
guguh ing Grobogan, Kaljohar Singasari, Srengat si Barukuping, Balitar si
Kalakatung, Buta Kroda ing Rawa, Kalangbret si Sekargambir, Carub awor kang
rumeksa ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, Si Lengkur ing Tilamputih, si
Lancuk aneng Balora, Gambiran sang sang Kaladurgi, Kedunggede Ni Jenggi, ing
Batang si Klewr iku, Nglasem Kalaprahara, Sidayu si Dandangmurti, Widalangkah
ing Candi kayanganira.
Semarang baratkatiga, Pekalongan Gunturgeni, Pemalang
Ki Sembungyuda, Suwarda ing Sokawati, ing Tandes Nyai Ragil, Jayalelana ing
Suruh, Buta Tringgiling Tanggal, ing Kendal si Gunting geni, Kaliwungu
Gutuk-api kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dadung Awuk Brebes nenggih, ing
Pajang Buta Salewah, Manda-manda ing Matawis, Paleret Rajeg-wesi, Kutagede Nyai
Panggung, Pragota Kartasura, Carebon Setan Kaberi, Jurutaman ingkang aneng
Tegallajang.
Genawati ing Siluman, Kemandang Waringin-putih, si
Kareteg Pajajran, Sapuregol ing Batawi, waru Suli Waringin, ingkang aneng
Gunung Agung, Kalekah Ngawang-awang, Parlapa ardi Merapi, Ni Taluki ingkang
aneng ing Tunjungbang.
Setan Karetek ing Sendang, Pamasuhan Sapu Angin, Kres
apada ing Rangkutan, Wandansari ing Tarisig, kang aneng Wanapeti, Malangkarsa
namanipun, Sawahan Ki Sandungan, Pelabuhan Dudukwarih, Buta Tukang ingkang
aneng Pelajangan.
Rara Amis aneng Tawang, ing Tidar si Kalasekti,
Maduretna ing Sundara, Jelela ing ardi Sumbing, Ngungrungan Sidamurti, Terapa
ardi Merbabu, Lirbangsan ardi Kombang, Prabu Jaka ardi Kelir, Aji Dipa ardi
Kendeng kang den reksa.
Ing pasisir Buta Kala, Telacap Ki Kala Sekti, Kala
Nadah ing Tojamas, Segaluh aran si Rendil, Banjaran Ki Wesasi, si Korok aneng
Lowange, gunung Duk Geniyara, Bok Bereng Parangtaritis, Drembamoa ingkang aneng
Purbalingga.
Si Kreta karangbolongan, Kedung Winong Andongsari, ing
Jenu si Karungkala, ing Pengging Banjaransari, Pagelan kang winarni, aran Kyai
Candralatu, ardi Kendali Sada, Ketek putih kang nenggani, Buta Glemboh ing
Ngayah kajanganira.
Rara Denok aneng Demak, si Batitit aneng Tubin,
Juwal-pajal ing Talsinga, ing Tremas Kuyang nenggani, Trenggalek Ni Daruni, si
Kuncung Cemarasewu, Kala-dadung Bentongan, si Asmara aneng Taji, Bagus-anom ing
Kudus kayanganira.
Magiri si Manglar Munga, ing Gading si Puspakati,
Cucuk Dandang ing Kartika, Kulawarga Tasikwedi, kali Opak winarni, Sangga
Buwana ranipun, Pak Kecek Pejarakan, Cing-cing Goling Kalibening, ing Dahrama
Karawelang kang rumeksa.
Kang aneng Warulandeyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus
Karang aneng Roban, Pasujayan Udan riris, Widanangga Dalepih, si Gadung Kedung Garunggung,
kang aneng Kabareyan, Citranaya kang neggani, Ganepura ingkang aneng Majaraga.
Logenjang aneng Juwana, ing Rembang si Bajulbali, si
Londir ing Wirasaba, Madura Buta Garigis, kang aneng ing Matesih, Jaranpanolih
ranipun, si Gober Pecangakan, Danapi ing Jatisari, Abar-abir ingkang aneng
Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodaya, Sarpabangsa aneng Pening,
Parangtandang ing Kesanga, ing Kuwu si Ondar-andir, Setan Telaga pasir, ingkang
aran si Jalilung, Kala Ngadang ing Tuntang, Bancuri Kala Bancuring, kang angreksa
sukuning ardi Baita.
Rara Dungik Randu Lawang, ing Sendang Retna Pangasih,
Buta Kepala Prambanan, Bok Sampur neng ardi Wilis, Raden Galanggang Jati, aneng
ardi Gajah Mungkur, si Gendruk ing Talpegat, ing Ngembel Rahaden Panji, Pager
Waja Rahaden Kusumayuda.
Si Pentul aneng Kacangan, Pecabakan Dodol Kawit,
kalangkung kasektenira, titihane jaran panolih, kalacakra payung neki, larwaja
kekemulipun, pan samya rinajegan, respati rajege wesi, cametine pat-upate ula
lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali
mangetan, mangidul panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali mangidul,
ngulon panyabetira, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap kang lara.
mangalor panyabetira, ana lara teka bali, tinulak
ngalor parannya, manginggil panyabet neki, ana lara teka bali, tinulak bali
manduwur, mangisor panyabetnya, ana lara teka bali, pan tinulak bali mangandap
kang lara.
Demit kang aneng Jepara, kalwan kang aneng Pati,
kalangkung kasektenira, keringan samaning demit, ing Ngrema Tambaksuli,
Yudapeksa ing Delanggu, si Kluntung ing Jepara, Gambir Anom aneng Pti, si
Kecebung Kadilangu kang den reksa.
Rara Duleg ing Mancingan, Guwa Langse Raja Putri, kang
rumeksa Parang Wedang, Raden Arya Jayengwesti, kabeh urut pasisir, kula warga
Nyai Kidul, sampun pepak sadaya, para pramukaning demit, nungsa Jawa paugeran
kang rumeksa, Titi Tamat Angidung Rajah Rumaya”.
Ini adalah doa yang dibacakan pada saat melakukan
ritual ruwat secara lengkap dan menurut KPH Tjakraningrat (Kanjeng Raden
Hadipati Danureja IV).
Selesai menyanyikan kidung untuk Ruwat Murwakala,
selanjutnya dibuatlah Rajah Kalacakra yang ditempelkan pada pintu-pintu rumah
yang diruwat. Pembuatan Rajah Kalacakra Balik adalah menulis huruf
hanacaraka secara terbalik urur\tannya, dimulai dengan “nga ta ba ga ma nya ya ja da pa la wa sa ta da ka ra ca na
ha”
dilakukan dengan cara sebagai berikut :
* Ditulis melingkar diatas lempengan emas,
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,
* Pati geni selama sehari semalam penuh,
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
* Sebelumnya melakukan puasa selama 40 hari, hanya berbuka sekali pada tengah malam saja,
* Pati geni selama sehari semalam penuh,
* Lempengan emas yang sudah menjadi rajah di tanam pada tembok atau ditanam pada tanah. Penanaman ini dilakukan dengan cara sunduk sate.
* Penulisan huruf dengan aksara Jawa.
Rajah Kalacakra ditulis pada kain atau kertas yang
berwarna putih kemudian ditempel pada tembok atau pintu depan rumah.
Penggunaan warna tinta dengan menggunakan dua warna, misalnya hitam dan
merah. Dalam menulis rajah ini, dengan syarat-syarat sebagai berikut :
* Melakukan puasa selama 21 hari,
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,
* Setiap jam 1 malam harus membakar dupa selama puasa,